HAK
TANGGUNGAN
A.
Pengertian Hak Tanggungan
Setelah menunggu beberapa tahun lamanya, akhirnya pada
tanggal 9 April 1996 diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya
disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-undang ini merupakan
Undang-undang baru yang penting bagi seluruh sistem hukum perdata yang
berkenaan dengan sistem pemberian kredit.
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan
definisi Hak Tanggungan sebagai berikut: [1]
“ Hak Tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain. ”
Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa Hak Tanggungan
adalah identik dengan hak jaminan, yang bilamana dibebankan atas tanah Hak
Milik, tanah Hak Guna Bangunan dan/atau tanah Hak Guna Usaha memberikan
kedudukan utama kepada kreditor-kreditor tertentu yang akan menggeser kreditor
lain dalam hal si berhutang (debitor) cidera janji atau wanprestasi dalam
pembayaran hutangnya, dengan perkataaan lain dapat dikatakan bahwa pemegang hak
tanggungan pertama lebih Preferent terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hal ini
lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 6UUHT, yang mengatakan “apabila debitor
pcidera janji (wanprestasi), pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan
umum, serta mengambil hasil penjualan objek hak tanggungan tersebut untuk
pelunasan hutangnya.”
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang
pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
tersebut sebagai jaminan, yang selama ini pengaturannya menggunakan
ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata
B.
Objek dan Subjek Hak Tanggungan
- Objek Hak Tanggungan
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa Hak atas Tanah yang dapat dibebani
dengan Hak Tanggungan adalah:[2]
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan.
Hak-hak atas Tanah seperti ini merupakan hak-hak yang sudah
dikenal dan diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. Namun selain hak-hak tersebut, ternyata dalam
Pasal 4 ayat (2) UUHT ini memperluas hak-hak tanah yang dapat dijadikan jaminan
hutang selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) UUHT, objek hak tanggungan dapat juga berupa:
a.
Hak
Pakai atas tanah Negara. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan
yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan
dan dibebani dengan hak tanggungan;
b.
Begitu
pula dengan Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di
atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang
diberikan oleh Negara (Pasal 27 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang
Rumah Susun) juga dimasukkan dalam objek hak tanggungan. Bahkan secara
tradisional dari Hukum Adat memungkinkan bangunan yang ada diatasnya pada suatu
saat diangkat atau dipindahkan dari tanah tersebut.
UUHT menetapkan bahwa hak guna bangunan dapat dijadikan
jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. UUHT tidak memerinci hak guna
bangunan yang mana yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hak guna bangunan menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ada tiga macam,
yaitu Hak Guna Bangunan atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik.
Dari tiga macam Hak Guna Bangunan tersebut seharusnya UUHT menetapkan
bahwa hanya Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas
tanah Hak Pengelolaan yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan, sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik tidak dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, dikarenakan Hak Guna
Bangunan atas tanah Hak Milik meskipun wajib didaftar akan tetapi tidak dapat
dipindahtangankan kepada pihak lain.
- Subjek Hak Tanggungan
Mengenai
subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan
dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek hukum dalam hak
tanggungan adalah subjek hukum yang terkait dengan perjanjian pemberi hak
tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang
mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut:[3]
a.
Pemberi
Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek hak tanggungan
(debitor);
b.
Pemegang
Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai
jaminan dari pihutang yang diberikannya.
Dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT memuat ketentuan mengenai
subjek Hak Tanggungan, yaitu sebagai berikut :
a.
Pemberi
Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada
saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;
b.
Pemegang
Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang diberikan.
Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan selain Warga
Negara Indonesia adalah Warga Negara Asing. Dengan ditetapkannya hak pakai atas
tanah negara sebagai salah satu objek hak tanggungan, bagi warga negara asing
juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek hak tanggungan apabila memenuhi
syarat. Sebagai pemegang hak tanggungan yang berstatus Warga Negara Indonesia,
badan hukum Indonesia, Warga Negara Asing atau badan hukum asing tidak
disyaratkan harus berkedudukan di Indonesia. Oleh karena itu jika perjanjian
kreditnya dibuat di luar negeri dan pihak pemberi kreditnya orang asing atau
badan hukum asing yang berdomisili di luar negeri dapat pula menjadi pemegang
Hak Tanggungan, sepanjang perjanjian kredit yang bersangkutan dipergunakan
untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia (penjelasan Pasal
10 ayat (1) UUHT).
Apabila salah satu pihak, pemberi hak tanggungan atau pemegang
tak tanggungan, berdomisili di luar Indonesia baginya harus pula mencantumkan
domisili pilihan di Indonesia dan dalam hal domisili pilihan itu tidak
dicantumkan, Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah tempat pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih. Bagi mereka yang akan
menerima hak tanggungan, haruslah memperhatikan ketentuan dari Pasal 8 ayat (2)
UUHT yang menentukan, bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) UUHT tersebut
di atas harus ada (harus telah ada dan masih ada) pada pemberi hak tanggungan
pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.
C.
Beberapa Asas Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan
atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu mempunyai empat asas, yaitu
sebagai berikut: [4]
1.
Memberikan
kedudukan yang diutamakan (Preferent) kepada kreditornya. Hal ini berarti bahwa
kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak didahulukan di dalam mendapatkan
pelunasan atas pihutangnya dari pada kreditor-kreditor lainnya atas hasil
penjualan benda yang dibebani hak tanggungan tersebut;
2.
Selalu
mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada artinya
benda-benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak
tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas
tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut telah beralih atau
berpindah-pindah kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat
pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.
3.
Memenuhi
Asas Spesialitas dan Publisitas. Asas Spesialitas maksudnya wajib dicantumkan
berapa yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan, juga identitas dan
domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan yang wajib dicantumkan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Asas Publisitas maksudnya wajib dilakukan dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan.
4.
Mudah
dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan
hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.Disamping itu, hak
tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan
di dalam APHT. Hal ini berarti suatu hak tanggungan membebani secara utuh benda
yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila
sebagian dari hutang dibayar, pembayaran itu tidak membebaskan sebagian dari
benda yang dibebani hak tanggungan. Penyimpangan terhadap asas ini hanya dapat
dilakukan apabila hal tersebut diperjanjikan secara tegas di dalam APHT yang
bersangkutan.
Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik
hak atas tanah dimana bangunan tersebut berdiri. Dengan kata lain pemegang Hak
Guna Bangunan bukanlah pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut
didirikan.
Maria S.W. Sumardjono mendefenisikan bahwa Hak Guna
Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang
bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan atas
permintaan pemegang hak dapat diperpanjang dengan dua puluh tahun. Hak Guna
Bangunan dapat diperoleh dari tanah negara ataupun tanah (hak) milik orang
lain.
Berbeda dengan pendapat para ahli hukum sebelumnya, Maria
S.W.Sumardjono berpendapat bahwa pemegang Hak Guna Bangunan adalah sekaligus
pemegang hak atas tanah dan bangunannya. Dengan perkataan lain hak atas tanah
dan bangunan berada disatu tangan atau tidak terpisah. Apabila Hak Guna
Bangunan itu (dalam pengertian pemegang hak guna bangunan bukanlah pemegang hak
atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan) akan dibebani dengan hak lain,
maka satu-satunya kemungkinan yang terbuka adalah pembebanannya dengan hak sewa
atas bangunan, yang berarti yang menjadi objek sewa menyewa adalah bangunan dan
bukan (hak atas) tanahnya. Konstruksi yuridis Hak Guna Bangunan tidak
memungkinkan bahwa seseorang mempunyai bangunannya saja tanpa menjadi pemegang
hak atas tanahnya.
Menurutnya apabila konsep
tersebut diterapkan dalam pemilikan satuan rumah susun (apartemen), maka jelas
pemegang Hak Guna Bangunan semula adalah developer/perusahaan pembangunan rumah
susun. Bila kemudian seseorang membeli satuan rumah susun (apartemen) untuk
dirinya, maka disamping pemilikan satuan rumah susun tersebut yang bersifat
individual dan terpisah, juga meliputi pemilikan bersama atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang merupakan bagian yang tak terpisahkan
dengan Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMSRS) tersebut. Konsekwensinya adalah
bahwa pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak
tanah (Pasal 8 UU HMSRS). Bagi warga negara asing yang tidak merupakan subjek
Hak Guna Bangunan, pemilikan apartemen diperbolehkan apabila rumah susun
tersebut dibangun di atas tanah hak pakai.
Alasan pemilikan apartemen/bangunan tersebut terpisah dari
status penguasaan hak atas tanahnya, karena berlakunya asas pemisahan
horizontal dalam Hukum Tanah Nasional, menurut Maria S.W. Sumardjono
menunjukkan kesalahan dalam penerapannya (miskonsepsi dan misaplikasi). Asas
itu menurutnya mengandung pengertian, bahwa pada prinsipnya pemilikan bangunan
terpisah dengan penguasaan tanahnya, kecuali jika menurut kenyataan pemilikan
bangunan dan penguasaan hak atas tanahnya berada pada satu tangan. Terhadap
pengertian Hak Guna Bangunan sudah jelas bahwa asas pemisahan horizontal tidak
berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 14 Tahun
1960 jo Peraturan Ditektur Jenderal Agraria Nomor 4 Tahun 1968 dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor SK 59/DDA/1970 ditegaskan bahwa dalam hal
peralihan Hak Guna Bangunan diperlukan izin yang pada intinya mewajibkan
pemohon untuk memberikan keterangan tentang jumlah tanah atau rumah yang sudah
dipunyainya beserta isteri dan anak-anak yang masih menjadi tanggungannya untuk
menentukan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau tidak.
Peraturan-peraturan tersebut pada prinsipnya dimaksudkan mengadakan pengawasan
terhadap pemindahan hak atas tanah agar tidak terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan UUPA, misalnya berkaitan dengan persyaratan subjek hak atas tanah.
Berkaitan dengan penerapan asas pemisahan horizontal
tersebut, Bachtiar Effendie mengatakan bahwa tidak ada satu pasal pun dalam
Undang-Undang Ketentua-ketentuan Pokok Agraria yang secara tegas telah
menjabarkan asas pemisahan horizontal tersebut. Penerapan asas pemisahan
horizontal tersebut tidak selalu mutlak diterapkan kendatipun Undang-Undang
Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria telah mencabut Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya (termasuk mencabut Pasal 500 jo Pasal 571 ayat 1 jo Pasal 601 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Penerapan asas pemisahan horizontal haruslah
secara kasuistis/perkasus sehingga dengan demikian penyelesaian kasus tersebut
akan dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
Pendapat diatas didukung oleh Boedi Harsono. Menurutnya
asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat dipertahankan secara mutlak,
sebab di kota-kota, bangunan-bangunan pada umumnya permanen dan sulit bagi
orang untuk mengetahui siapa pemilik bangunan, sehingga untuk kelancaran lalu
lintas hukum, maka pemilik tanah dianggap pemilik bangunan di atasnya selama
tidak dibuktikan orang lain pemiliknya. Menurut beliau di desa masih berlaku
asas pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan (tanaman diatasnya),
pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik bangunan/tanaman di atasnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hal
penguasaan hak guna bangunan di desa-desa masih berlaku asas pemisahan
horizontal antara tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan/tanaman yang
berada diatasnya sedangkan untuk daerah perkotaan asas pemisahan horizontal
tidaklah dapat dipertahankan lagi secara mut lak.
D.
Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan
Pembebanan Hak Tanggungan terdiri dari dua tahap, yaitu
Pemberian Hak Tanggungan dan Pendaftaran Hak Tanggungan. Tata cara
pembebanannya wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (1);
Pasal 11 ayat (1); Pasal 12; Pasal 13 dan Pasal 14 UUHT.
Syarat
sahnya pembebanan Hak Tanggungan yaitu :[5]
1.
Pemberian
Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah(PPAT) sesuai dengan peraturan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 10 ayat (2) UUHT);
2.
Pemberian
Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal 11 ayat (1) UUHT) yang
meliputi :
a.
Nama
dan ident itas pemegang dan pemberi hak tanggungan;
b.
Domisili
para pihak, pemegang dan pemberi hak tanggungan;
c.
Penunjukkan
secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak
tanggungan;
d.
Nilai
Tanggungan;
e.
Uraian
yang jelas mengenai objek hak tanggungan.
Dengan
demikian yang disebut syarat spesialitas adalah penunjukan secara jelas hutang
atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dan jika hutangnya
belum disebutkan nilai tanggungan serta uraian yang jelas tanah dan bangunan
yang ditunjuk sebagai objek hak tanggungan.
3.
Pemberian
Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat publisitas (supaya diketahui oleh siapa
saja) melalui pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat
(Kabupaten/Kota);
4.
Batal
demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memiliki
objek hak tanggungan apabila debitor cidera janji (Pasal 12 UUHT).
E.
Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank
Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
menyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini berarti dalam kegiatan
sehari-hari bank pada umumnya selalu berusaha menghimpun dana
sebanyak-banyaknya dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan kemudian mengelola
dana tersebut untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman
atau kredit.
Selain daripada itu, dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyatakan kredit adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Jadi, untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit itu,
harus ada suatu persetujuan atau
perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan nasabah sebagai debitor yang
dinamakan perjanjian kredit. Dalam memberikan kredit kepada masyarakat, Bank
harus merasa yakin bahwa dana yang dipinjamkan kepada masyarakat itu akan dapat
dikembalikan tepat pada waktunya beserta bunganya dan dengan syarat-syarat yang
telah disepakati bersama antara bank dan nasabah yang telah dituangkan dalam
perjanjian kredit.
Untuk mengetahui kemampuan dan kemauan nasabah
mengembalikan pinjaman dengan tepat waktu, di dalam permohonan kredit, bank
perlu mengkaji permohonan kredit, yaitu sebagai berikut:
1.
Character (Kepribadian)
Salah
satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kreditnya
adalah penilaian atas karakter kepribadian atau watak dari calon debitornya.
Karena watak yang tidak baik akan menimbulkan perilaku-perilaku yang tidak baik
pula. Perilaku yang tidak baik ini termasuk tidak mau membayar hutang dan/atau
cidera janji (wanprestasi). Oleh karena itu, sebelum kredit diluncurkan atau
diberikan, maka harus terlebih dahulu ditinjau apakah calon debitor berkelakuan
baik atau tidak. Dimana debitor tidak terlibat tindakan-tindakan kriminal, bukan merupakan penjudi, pemabuk
atau tindakan pidana lainnya yang tidak terpuji;
2.
Capacity (Kemampuan)
Seorang
calon debitor harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat
diprediksi kemampuannya untuk melunasi hutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya
kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar.
Demikian
juga jenis bisnisnya atau kinerja bisnisnya sedang menurun, kredit juga
semestinya tidak diberikan. Kecuali jika menurunnya kinerja bisnis dari calon
debitor itu karena biaya, sehingga dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan
biaya lewat pelunasan kredit, maka kinerja bisnisnya atau trend dipastikan akan
semakin membaik.
3.
Capital (Modal)
Permodalan
yang dimiliki dari seorang debitor juga
merupakan hal yang penting dan harus diketahui oleh calon kreditornya karena
permodalan dan kemampuan keuangan dari seorang debitor akan mempunyai korelasi
dengan tingkat kemampuan debitor dalam membayar kredit. Jadi, masalah
likuiditas dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi hal terpenting.
Sehingga dapat diketahui misalnya lewat laporan keuangan perusahaan debitor,
yang apabila perlu diisyaratkan audit oleh independent auditor.
4.
Collateral (Agunan)
Tidak
diragukan lagi bahwa betapa pentingnya fungsi agunan dalam setiap pemberian
kredit. Agunan merupakan the last resort bagi kreditor, dimana akan direalisasikan
atau dieksekusi jika suatu hari kredit benar-benar dalam keadaan macet.
5.
Condition
of Economy (Kondisi Ekonomi) Kondisi perekonomian secara mikro maupun
makro merupakan faktor penting pula untuk dianalisis sebelum suatu kredit
diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnisnya dari pihak
debitor, misalnya jika bisnis debitor adalah dibidang bisnis yang selama ini
diproteksi atau diberikan hak monopoli oleh pemerintah. Jika misalnya terdapat
perubahan policy dimana pemerintah mencabut proteksi atau hak monopoli, maka
pemberian kredit terhadap perusahaan tersebut harus ekstra hati-hati.
Menurut Munir Fuady, selain menerapkan prinsip 5 C’s juga
menerapkan apa yang dinamakan dengan prinsip 5 P’s, sebagai berikut:
- Party (Para Pihak)
Para
pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit.
Pihak pemberi kredit dalam hal ini adalah bank harus memperoleh suatu
“kepercayaan” terhadap para pihak penerima kredit dalam hal ini debitor,
mengenai bagaimana karakter, kemampuan dan sebagainya.
- Purpose (Tujuan)
Tujuan
dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak bank (kreditor).
Karena harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif
yang benar-benar dapat meningkatkan pendapatan (income) kegiatan usaha atau
perusahaan dari debitor. Dari pemberian kredit itu pihak bank (kreditor) harus
pula mengawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan
seperti yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit.
- Payment (Pembayaran)
Perlu
diperhatikan pula apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitor apakah
sudah cukup tersedia dan aman. Sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit
yang disalurkan kepada debitor tersebut, dapat dibayar kembali oleh debitor
yang bersangkutan pada kreditor.
- Profitability (Perolehan Keuntungan)
Unsur
perolehan laba dan /atau keuntungan oleh debitor tidak kurang pula pentingnya
dalam suatu pemberian kredit yang disalurkan. Untuk kreditor harus
mengantisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar
daripada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi
pembayaran kembali kredit, cash flow dan sebagainya.
- Protection (Perlindungan)
Perlindungan
terhadap kredit oleh perusahaan debitor merupakan hal yang terpenting bagi
kreditor. Untuk itu perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan dari
perusahaan (holding), ataupun jaminan pribadi pemilik perusahaan sangat
diperhatikan.
Diantara kelima prinsip tersebut salah satu hal yang
terpenting untuk diperhat ikan adalah collateral. Collateral adalah berupa
barang-barang yang diserahkan oleh debitor kepada bank selaku kreditor sebagai
jaminan terhadap pembayaran kembali atas kredit yang diterimanya. Dalam membuat
perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja
tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitor untuk menjamin kredit yang
diperolehnya itu.
Oleh sebab itu, apabila dalam menyalurkan kredit, bank
tersebut meminta kepada debitor untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk
mengamankan kreditnya.
Dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang
bertitik berat pada bidang ekonomi, yang membutuhkan penyediaan dana yang cukup
besar, untuk itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Walaupun didalam Pasal 1131 KUHPerdata dikatakan bahwa
segala kebendaan orang yang berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perorangan, namun sering orang tidak merasa
puas dengan jaminan yang dirumuskan secara umum. Oleh karena itu, bank perlu
meminta supaya benda tertentu dapat dijadikan jaminan yang diikat secara
yuridis. Dengan demikian, apabila debitor tidak menepati janjinya atau cidera
janji (wanprestasi), maka bank dapat melaksanakan haknya dengan mendapatkan
kedudukan yang lebih tinggi dari kreditor lainnya untuk mendapatkan pelunasan
hutangnya.
Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran hutang yang
paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab
tanah, pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda
bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang memberikan
hak istimewa kepada kreditor.
Didalam UUPA, hak jaminan atas tanah yang dinamakan Hak
Tanggungan mendapat pengaturan dalam Pasal 25; Pasal 33; Pasal 39; Pasal 51 dan
Pasal 57. [6]
besar, untuk itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan,
yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Walaupun didalam Pasal 1131 KUHPerdata dikatakan bahwa segala
kebendaan orang yang berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perorangan, namun sering orang tidak merasa puas dengan
jaminan yang dirumuskan secara umum. Oleh karena itu, bank perlu meminta supaya
benda tertentu dapat dijadikan jaminan yang diikat secara yuridis. Dengan
demikian, apabila debitor tidak menepati janjinya atau cidera janji
(wanprestasi), maka bank dapat melaksanakan haknya dengan mendapatkan kedudukan
yang lebih tinggi dari kreditor lainnya untuk mendapatkan pelunasan
hutangnya.
Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran hutang yang
paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab
tanah, pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda
bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang memberikan
hak istimewa kepada kreditor.
Didalam UUPA, hak jaminan atas tanah yang dinamakan Hak
Tanggungan mendapat pengaturan dalam Pasal 25; Pasal 33; Pasal 39; Pasal 51 dan
Pasal 57.
Di dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 UUPA ditetapkan
mengenai hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani
Hak Tanggungan, yaitu tanah dengan status hak milik, hak guna usaha serta hak
guna bangunan. Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan itu akan diatur dengan
Undang-Undang dan dalam Pasal 57 UUPA dinyatakan bahwa selama Undang-Undang
tersebut belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai
Hipotek dan Creditverband.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, ketentuan-ketentuan mengenai hipotek atas tanah yang
terdapat dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan mengenai Creditverband
yang terdapat dalam Staatsblad 1937 Nomor 190 dinyatakan sudah tidak
berlaku lagi. Karena dipandang tidak sesuai lagi dengan sistem hukum
keperdataan dalam hukum jaminan dan kebutuhan kegiatan perkreditan, dan
sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia.
Dengan terbitnya UUHT ini sangat berarti terutama didalam
menciptakan unifikasi hukum tanah nasional, khususnya di bidang hak jaminan
atas tanah. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa hak tanggungan adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu,
yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain. Hak Tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang
kuat atas benda tidak bergerak berupa tanah yang dijadikan jaminan, karena
memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditor pemegang hak
tanggungan dibandingkan dengan kreditor lainnya.
Dengan demikian, dari uraian diatas dapat dirasakan bahwa
masalah jaminan ini sangat penting dalam rangka pelaksanaan pemberian
kredit. Lembaga Hak Tanggungan sebagai
perwujudan dari amanat Pasal 51 jo Pasal 57 UUPA, berlandaskan pada
hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal yang menyatakan bahwa tanah
terpisah dengan segala sesuatu yang berada diatasnya. Berdasarkan hal tersebut
dapat dipahami bahwa apabila hukum adat tidak mengenal hak kebendaan
sebagaimana dalam hukum perdata barat.
Searah dengan hal itu, apabila hak tanggungan mendasarkan
diri secara konsisten pada hukum adat maka hak tanggungan t idak mempunyai
ciri-ciri khusus sebagaimana yang dimiliki oleh hipotek yang melekat pada hak
kebendaan. Ciri-ciri yang menonjol dari hak tanggungan yang menyebabkan
memberikan jaminan kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya
bagi bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat baik melalui
simpanan giro, tabungan dan menyalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat
berupa pinjaman kredit.
- Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah memindahkan, sedangkan hak berarti benar. Jadi peralihan
hak atas tanah adalah memindahkan atau beralihnya penguasaan tanah yang semula
milik sekelompok masyarakat ke masyarakat lainnya. Peralihan tersebut
dapat dilakukan dengan cara menukar/memindahkan tanah. Penguasaan yuridis
dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada
pemegang hak untuk menguasan secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga
penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak
lain.
Pengertian lain tentang peralihan hak
atas tanah, sebagaimana yang dikutip oleh Erene Eka Sihombing adalah beralihnya
atau berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah
dari pemilk semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum
tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untyuk memindahkan hak atas
tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam hal ini subyek hukumnya
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah).
Perbuatan hukum dapat diartikan
sebagai setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum yang menimbulkan akibat
hukum. Menurut CST Kansil, bahwa “Segala perbuatan manusia yang secara sengaja
dilakukan oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban,
misalnya membuat surat wasiat, membuat persetujuan-persetujuan dinamakan
perbuatan hukum”.
Perbuatan hukum itu terdiri dari:
a.
Perbuatan hukum sepihak, yaitu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan
kewajiban pada satu pihak pula, misalnya pembuatan surat wasiat, dan pemberian
hadiah sesuatu (benda).
b.
Perbuatan hukum dua pihak, ialah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak dan
kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak (timbal balik) misalnya membuat
persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.
Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan
tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak, yakni akan kami terangkan
sebagai berikut ;
1)
Pewarisan tanpa wasiat
Menurut
hukum perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal, maka hak tersebut
karena hukum beralih kepada ahli warisnya.
2)
Pemindahan hak
Berbeda
dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang terjadi
karena peristiwa hukum dengan meninggaknya pemegang hak, dalam perbuatan hukum
pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak
lain. bentuk pemindahan haknya dapat berupa :
a.
Pewarisan dari ayah atau ibu
kepada anak atau dari kakek-nenek kepada cucu atau dari adik kepada kakak atau
sebaliknya kakak kepada adiknya dan lain sebagainya.
b.
Hibah yaitu pemberian dari
seseorang kepada orang lain.
c.
Jual beli yaitu tanah tersebut
dijual kepada pihak lain. Acara jual beli banyak tergantung dari status subyek
yang ingin menguasai tanah dan status tanah yang tersedia misalnya apabila yang
memerlukan tanah suatu Badan Hukum Indonsia sedangkan tanah yang tersedia
berstatus Hak Milik maka secara acara Jual Beli tidak bisa di laksanakan karena
akan mengakibatkan jual belinya batal demi hukum, karena Badan Hukum Indonesia
tidak dapat menguasai tanah Hak Milik. Namun kenyataannya dalam praktek
cara peralihan hak dengan jual beli adalah yang paling banyak ditempuh
d.
Tukar menukar anatar bidang tanah
yang satu dengan bidang tanah yang lain, dalam tukar menukar ini bisa ada unsur
uang dengan suatu pembayaran yang merupakan kompensasi kelebihan atas nilai/
harga tanah yang satu dengan yang lainnya, bisa juga tanpa ada unsur uang
karena nilai tanah yang satu dengan yang lainnya sama.
e.
Pembagian hak bersama bisa terjadi
karena hak yang ada terdaftar atas nama bebertapa nama sehingga untuk lebih
memperoleh kepastian hukum para pihak melakukan pembagian atas bidang tanah
yang mereka miliki bersama-sama.
f.
Pemasukan dalam perseroan yang
menyebabkan hak atas tanahnya berubah menjadi atas nama perseroan dimana
seseorang tersebut menyerahkan tanahnya sebagai setoran modal dalam perseroan
tersebut.
g.
Pelepasan hak, dilakukan karena
calon pemegang hak yang akan menerima peralihan hak atas tanah tersebut adalah
bukan orang atau pihak yang merupakan subjek hukum yang dapat menerima
peralihan hak atas tanah yang akan dialihkan tersebut, sebagai contoh tanah
yang akan dilalihkan kepada suatu Badan Hukum Indonesia adalah tanah dengan
status hak milik, ini tidak bisa dilakukan karena Badan Hukum Indonesia
bukanlah Subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah dengan
status hak milik.
h.
Lelang, umumnya dilakukan jika
tanah yang akan dialihkan tersebut susah untuk menemukan calon pembeli atau
tanah tersebut merupakan jaminan pada bank yang sudah di eksekusi lalu mau
dijual.
i.
Peralihan karena penggabungan atau
peleburan perseroan yang menyebabkan ikut beralihnya hak atas tanah yang
merupakan asset perseroan yang diambil alih tersebut.
j.
Jual-Beli, tukar Menukar, Hibah dan
Pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelkasanaan hibah wasiat, dilakukan
oleh para pihak dihadapan PPAT, yang bertugas membuat akatanya. dengan demikian
perbuatan hukum yang bersangkutan dihadapan PPAT dipenuhi. Untuk memperoleh
surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya pemindahan haknya
didaftarkan pada kantor pertanahan setempat letak tanah tersebut berada,
dengan tujuan.
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak yang terdaftar haknya, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b.Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data
yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah
tertentu dan Satuan Rumah Susun yang terdaftar.
Sehubungan dengan pengalihan hak atas
tanah di Indinesia Para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di seluruh
Indonesia harus menyelesaikan setiap permohonan pendaftaran peralihan hak
atas tanah yang sudah bersertipikat dan sudah dilengkapi dengan dokumen-dokumen
sebagaimana dipersyaratakan dalam waktu 2 minggu setelah tanggal penerimaan
permohonan tersebut. Menyelesaikan semua tunggakan permohonan peralihan hak
atas tanah yang sudah bersertipikat dan sudah dilengkapi dengan dokumen-dokumen
yang dipersyaratkan dalam waktu 3 bulan setelah tanggal instruksi ini
Peralihan
Hak Atas Tanah dapat hapus dikarenakan sebagai berikut ;
a.
Berakhirnya jangka waktu yang
bersangkutan sebagaimana ditetapkan dalam sertifikat haknya menjadi hapus.
b.
Dibatalkan oleh pejabat yang
berwenang karena; Tidak dipenuhinya oleh pemegang hak yang bersangkutan kewajiban-kewajiban
tertentu atau dilanggarnya suatu larangan, tidak dipenuhinya syarat-syarat atas
kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian pemberian
pemegang hak dan putusan pengadilan
c.
Bila subyek hak tidak lagi
memenuhi syarat atau tidak dipenuhinya suatu kewajiban dalam waktu satu tahun
pemindahan/peralihan hak mi8lik atas tanah tidak dilepaskan atau tidak
dialihkan maka hapus karena hukum.
d.
Dilepaskan atau diserahkan dengan
sukarela oleh pemegang haknya.
e.
Pencabutan haknya
f.
Tanah yang bersangkutan musnah,
karena proses alamiah ataupun bencana alam.
g.
Tanahnya diterlantarkan.[7]
F.
SANKSI
ADMINISTRATIF TERHADAP NOTARIS DAN PPAT
Untuk menjamin kepastian hukum serta memberikan
perlindungan kepada pihak – pihak yang berkepentingan, dalam pasal 23 UUHT diatur sanksi administratif yang
dapat dikenakan kepada para pelaksana yang bersangkutan, terhadap pelanggaran
atau kelelahan dalam memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan tugasnya masing –
masing
Ketentuan dalam pasal 23 ayat (1) UUHT menetapkan
bahwa sanksi administratif dimaksud dapat berupa teguran lisan, teguran
tertulis , pemberhentian sementara dari jabatan atau pemberhentian dari
jabatan, yang disesuaikan dengan berat rintangan pelanggaran dan kelalaian.
Sanksi administratif dalam pasal 23 ayat (1) UUHT ini dikenakan PPAT dan
Notaris yang telah melanggar atau lalai dalam melaksanakan atau memenuhi
ketentuan – ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal-pasal 11 ayat
(1), 13 ayat (2) dan 15 ayat (1) dan atau peraturan pelaksanaanya:
Pasal 23 ayat (1) UUHT menentukan :
Pejabat yang melanggar atau lalai dalam memenuhi
ketentuan sebagaimana yang dimaksud pasal 11 ayat (1), pasal 13 ayat (1) dan
pasal 15 ayat (1) undang – undang ini dan atau peraturan pelaksanaanya dapat
dikenai sanksi administratif berupa:
a.
Teguran lisan
b.
Teguran tertulis
c.
Pemberhentian
sementara dari jabatan
d.
Pemberhentian
dari jabatan
Penjelasan
pasal 23 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat “
sebagaimana rumusan dalam ketentuan pasal 23 ayat (1) UUHT itu adalah PPAT dan
Notariis yang disebut di dalam pasal-pasal yang bersangkutan.
Dengan
demikian ketentuan dalam pasal 23 ayat (1) UUHT telah mengatur sanksi bagi PPAT
dan NOtaris yang melakukan pelanggaran berkenaan dengan kewajiban tugasnya
sebagaimna ditentukan dalam UUHT. Sanksi administratif bagi PPAT dan Notris
tersebut, dapat berupa:
a. teguran lisan
b. Teguran
tertulis
c. Pemberhentian
sementara dari jabatan
d. Pemberhentian
dari jabatan
Sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (4)UUHT bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi asministratif tersebut ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah
Pemberhentian sanksi administratif kepada PPAT dan
Notaris tersebut dilakukan oleh pejabat yang berwenang ,enurut sesuai ketentuan
yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 23 ayat (4) UUHT
Dalam menjatuhkan jenis-jenis hukumannya sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan pasal 23 ayat (1) UUHT, pejabat yang berwenang
hendak memperhatikan dengan seksama dan cermati sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT dan Notaris. Penjelasan atas pasal 23 ayat
(1) UUHT menyatakan antara lain “ jenis-jenis hukumannya disesuaikan dengan
berat rintangan pelanggaran”
Bila penegrtian “pejabat “ didalam pasal 23 ayat (1)
UUHT hanya terbatas kepada PPAT dan Notaris saja, dengan sendirinya (
jenis-jenis ) sanksi asministratif yang disebutkan dalam pasal 23 ayat (1) UUHT
itu tentulah tidak berlaku bagi pejabat – pejabat lain yang terkait dengan
ketentuan UUHT ini .
Sementara itu bagi pejabat lain, selain pejabat PPAT
dan Notaris misalnya Kepala Kantoor Pertanahan dapat dikenakan saksi
asministratif yang diatur dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku
baginya, bila pejabat lain dimaksud melanggar atau lalai dalam melaksanakan
atau memenuhi ketetuan pasal 13 ayat (4), pasal 16 ayat (4) dan apsal 22 ayat
(8) UUHT dan atau peraturan pelaksanaanya.
Ketentuan pasal 23 ayat (2) UUHT menentukan sebagai
berikut :
Pejabat yang melanggar atau lalai dalam memenuhi
ketentuan sebagaiamana yang dimaksud dalam pasal 13 ayat (14), pasal 16 ayat
(4), dan pasal 22 ayat (8) undang – undang ini atau peraturan pelaksanaan dapat
dikenakan sanksi adminitratif sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan
yang berlaku.
Berhubung pejabat Kantor Pertanahan adalah pegawai
negeri, sanksi administratif dapat dikenakan kepada pejabat Kantor Pertanahan
yang memenuhi ketentuan pasal 22 ayat (8) UUHT adalah sanksi yang ditetapkan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
Selanjutnya ditentukan dalam pasal 23 ayat (3) UUHT
bahwa pemberian sanksi dimaksud diatas, tidak mengurangi sanksi yang dapat
dikenakan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Dengan demikian,
selain dikenakan sanksi administratif sebbagaimana diatur dalam ketentuan pasal
23 aayt (1) dan ayat (2) UUHT, maka PPAT dan Notaris serta pejabat lain dapat
pula digugat secara perdata dan atau dituntut secara bila memenuhi syarat yang
ditentukan :
Dalam angka 11 penjelasan umum atas UUHT antara lain
dinyatakan:
Selain dikenakan sanksi administratif atas UUHT
tersebut diatas, apabila memenuhi syarat yang diperlukan yang bersangkutan
masih dapat digugat secara perdata dan atau dituntut pidana.[8]
penjelasan
umum UU
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”):
Pada buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan
dibubuhkan catatan mengenai hapusnya hak tersebut, sedang sertifikatnya
ditiadakan. Pencatatan serupa, yang disebut pencoretan atau lebih dikenal
sebagai "roya", dilakukan juga pada buku tanah dan sertifikat hak
atas tanah yang semula dijadikan jaminan. Sertifikat hak atas tanah yang sudah
dibubuhi catatan tersebut, diserahkan kembali kepada pemegang haknya
Berdasarkan penjelasan umum UU Hak
Tanggungan tersebut, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah roya
adalah pencoretan pada buku tanah Hak Tanggungan karena hak tanggungan telah
hapus.
Pengaturan tata cara pencoretan hak
tanggungan terdapat dalam Pasal 22 UU Hak Tanggungan yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Setelah Hak Tanggungan hapus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak
Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya.
(2) Dengan
hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik
dan bersamasama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Kantor Pertanahan.
(3) Apabila
sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu sebab tidak
dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah Hak
Tanggungan.
(4) Permohonan
pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi
catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis
dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor
melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(5) Apabila
kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan
tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar.
(6) Apabila
permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh
Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
(7) Permohonan
pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor
Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri
yang bersangkutan.
(8) Kantor
Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (7).
Daftar
pustaka
Munawar, Hak
Tanggung, Surabaya: Grafindo ,2002
Effendi Perangin-angin, Praktik
Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Jakarta:Rajawali Pers, 1981
Usman Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan,
Sinar Geafika : Jakarta, 2008
Rozak, Kodifikasi Materi Hak Tanggungan, Jakarta:
Citra Karya, 2008
Sunandar, Materi Unsur-unsur Hak Tanggungan
Indonesia, Yogyakarta: Arya Wira Praja, 2010
Sadik, Hak Tanggungan secara Normatif,
Sumenep: Deroksa, 2010
http://alibielsya.blogspot.co.id/2014/02/makalah-hak-tanggungan.html
[1] UU
Hak Tanggungan No. 4 tahun 1996
[2]
Munawar, Hak Tanggung, (Surabaya: Grafindo, 2002), hal 126
[3]
Rozak, Kodifikasi Materi Hak Tanggungan, (Jakarta: Citra Karya, 2008),
hal 115
[4]
Sunandar, Materi Unsur-unsur Hak Tanggungan Indonesia, (Yogyakarta: Arya
Wira Praja, 2010), hal 96
[5]
Sadik, Hak Tanggungan secara Normatif, (Sumenep: Deroksa, 2010), hal 87
[6] Effendi Perangin-angin, Praktik Penggunaan Tanah Sebagai
Jaminan Kredit, (Jakarta:Rajawali Pers, 1981), hal. 9
[7] http://alibielsya.blogspot.co.id/2014/02/makalah-hak-tanggungan.html
[8] Usman
Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Geafika : Jakarta, hal 516
Tidak ada komentar:
Posting Komentar